Riset Unmul: Peningkatan Transparansi Informasi dan Komunikasi Diperlukan Untuk Hindari Konflik di IKN

REAKSIMEDIA.COM | Kalimantan Timur – Hasil riset Unmul yang berjudul “Problematika Penguasaan Lahan Oleh Masyarakat Lokal” memuat hal-hal terkait dengan berbagai upaya seperti peningkatan transparansi informasi dan komunikasi yang harus dilakukan untuk menghindari konflik yang mungkin terjadi antara masyarakat dengan pemerintah.

Hal tersebut disampaikan dosen FH Universitas Mulawarman (FH Unmul), Rahmawati Al Hidayah, SH.LLM dan Wiwik Harjanti, SH, LLM, di Samarinda, Senin (12/12/2022).

“Berdasarkan hasil riset saya yang bertajuk “Problematika Penguasaan Lahan Oleh Masyarakat Lokal”. Dari temuan kami di lapangan saat ini bahwa, saya melihat ada satu hal besar yang bisa menjadi tembok besar keraguan-raguan di masyarakat yaitu soal transparansi. Jadi belum ada dokumen resmi, kemudian informasi-informasi secara resmi yang bisa di akses oleh masyarakat, meskipun sudah ada patok-patok yang bisa kita lihat di sekitar kawasan IKN. Akan tetapi saya melihat secara umum bahwa tidak ada transparansi terkait skema pengadaan tanahnya, soal wilayah bagian mana saja, soal kena atau tidak, termasuk di dalamnya soal ganti rugi. Jadi saya melihat terlebih dahulu transparansi dari pemerintah terkait dengan proses. Meskipun saya menduga bisa karena dokumennya masih disiapkan hingga regulasinya masih disiapkan. Jadi yang muncul di media hanya statement yang bersumber dari dirinya saja, jadi itu yang pertama”, tutur Rahmawati.

“Kedua secara regulasi IKN akan terbagi menjadi 3 zona, kawasan inti pusat pemerintahan, kawasan ibu kota negara dan kawasan pengembangan ibu kota negara. Kalau kita lihat KIPP, berdasarkan media terjadi pro dan kontra, mulai dari pernyataan presiden tidak ada tanah masyarakat disana termasuk masyarakat adat, kemudian pernyataan gubernur bahwa tidak ada masyarakat adat disana di lokasi IKN. Ternyata ketika kita buka dokumen-dokumen yang ada, termasuk FGD-FGD yang ada ternyata ada Area Penggunaan Lain (APL), lain dari kawasan hutan, jadi sebenarnya ada hak-hak masyarakat disana.

Kita masuk yang ketiga, kita bisa melihat bahwa ada yang masuk kawasan hutan, ada yang masuk eks HGU (Konsesi) dan APL. Kalau dia kawasan APL boleh surat-menyurat, akan tetapi kalau kawasan hutan tidak mungkin kita temukan surat menyurat karena tidak ada hak atas tanah di wilayah hutan, kemudian di kawasan konsesi (HGU), kalau dia clear tidak ada juga hak atas tanah masyarakat secara teoritis”, tutur Rahmawati.

Menurut dia, ganti rugi yang bisa di klaim oleh masyarakat adalah ganti rugi terhadap wilayah atau kepemilikan tanah yang termasuk di dalam kawasan APL saja. Ganti rugi ini termasuk di dalam skema pengadaan tanah, karena termasuk dalam skema pengadaan tanah maka skema ganti ruginya, tidak bisa berdasarkan asas jual-beli, akan tetapi ganti rugi saja, karena tanah ini digunakan untuk kepentingan rakyat. Kemudian masyarakat juga masih bingung terkait mekanisme ganti ruginya, bagaimana, berapanya, itu nanti? Hal ini yang disebutkan oleh beliau tadi, bahwa masyarakat masih menduga-duga. Kalau berdasarkan informasi di media yang kita tahu masyarakat maunya berapa juta gitu. Padahal kalau berdasarkan regulasi kita tidak bisa bicara seperti itu, karena ada perhitungan nilai jual objek pajak, perhitungan nilai materil, perhitungan nilai imateril, dan perhitungan tanam tumbuh.

“Kemudian apakah memang bersih di wilayah eks HGU atau HGU itu? Faktanya di lapangan ada masyarakat yang tinggal di kawasan HGU dan banyak, apakah nanti mereka akan dapat hak? Nah ini harus hati-hati menjawabnya. Kita perlu lihat lagi dia dikuasai tahun berapa, HGU-nya dapat tahun berapa, ketika kemudian dia kena HGU disana apakah mereka masyarakat duluan disana? Itukan akan berbeda ketika HGU duluan ada sebelum masyarakat ada. Ini semua harus ada skemanya”, tuturnya yg juga peneliti.

“Fakta bahwa ada tanam tumbuh di HGU, ada tempat tinggal masyarakat di HGU tidak bisa pemerintah semena-mena tidak ganti rugi, karena secara faktual harus ada skemanya yang dilaksanakan meskipun skema tersebut tidak akan sama dengan yang punya sertifikat. Dan ketika masyarakat ada di kawasan HGU, tidak boleh dimaknai masyarakat menyerobot, tidak bisa. Kata penyerobotan seolah-olah masyarakat yang bersalah kalau saya harus di cek dulu, apakah benar masyarakat yang menyerobot atau jangan-jangan HGU-nya yang menyerobot tanah masyarakat. Mekanisme seperti ini dalam riset saya akan menjadi problematika penguasaan tanah,” tambahnya.

Baca juga:  Capaian Kinerja Kejaksaan RI Sepanjang Januari s/d Desember 2022

“Terkait aktivitas masyarakat di kawasan hutan, untuk ini kita harus berhati-hati. Kapan si Sk penetapan kawasan hutan itu dikeluarkan, apakah kemudian ada masyarakat lebih dahulu sebelum sk, atau kemudian masyarakat membuka lahan setelah ada sk disana. Kemudian ketika masyarakat membuka kawasan itu lebih lambat daripada penetapan sk, bukan berarti mereka tidak punya hak, jadi tetap harus ada skema-skema dan perhitungan. Meskipun kami sudah dapat data dari BPN, tren pembukaan lahan hutan terjadi peningkatan sejak penetapan IKN. BPN berbicara berdasarkan bukti dengan citra satelit, sebelum dan sesudah penetapan IKN. Untuk hal seperti ini tentu saja, saya lagi-lagi ingin bilang bahwa skema yang ada akan berbeda dengan HGU, HPL atau yang sudah ada di sana sebelum penetapan SK”, tegasnya.

Sementara itu, Wiwik Harjanti menjelaskan bahwa, “Berdasarkan riset saya terkait grand design IKN. Jadi grand desain IKN itu kita tidak hanya berbicara masalah apa yang sedang direncanakan oleh negara, dengan IKN. Tapi bagaimana sih nanti nasib masyarakat itu, tidak hanya berkutat pada IKN saja, akan tetapi apa yang terjadi pada masyarakatnya, pada mata pencahariannya mereka saat ini, bagaimana dengan keberlanjutan lingkungannya, bagaimana dengan dampaknya setelah IKN berdiri disana, jadi bagaimana sebenarnya desain besar semua hal itu, jadi bagaimana dari titik A penetapan IKN sampai nanti keberlanjutannya, jangan sampai nanti ditengah-tengah, masyarakat saat ini hanya berfokus kepada harga tanahnya, selama ganti ruginya masuk akal, mereka sudah puas, cara berpikirnya sederhana sekali, belum terpikir bagi mereka sama sekali terkait bagaimana dampak terhadap kehidupan mereka sehari-hari, bahkan pemenuhan kehidupan yang paling pribadi sekalipun contohnya air,” katanya.

Wiwik mengkritik terkait keberlanjutan hidup masyarakat kedepannya. Untuk sementara ini masyarakat memang masih banyak yang bersawah, bertani akan tetapi nanti kalau semua ruang udah dipakai untuk IKN bagaimana nasib masyarakat setelah itu? Air pasti bakal tersedot Dengan pembangunan yang sekarang sudah diperkirakan secara ilmiah ada beberapa daerah yang akan kekurangan pasokan air, padahal itu adalah hak dasar yang penting bagi masyarakat bahkan sudah dijamin konstitusi. Grand desain intinya dari A sampai Z itu seperti apa sih, mulai dari di awal, selesai hingga kelanjutannya itu.

“Harapan kami pemerintah bisa lebih transparan terkait informasi pertanahan yang detail di IKN dan juga bisa tingkatkan komunikasi dengan masyarakat agar tidak terjadi lagi miss komunikasi. Jangan informasi aktual malah dari media harusnya dari pemerintah sendiri. Semacam harus ada media center, yang memang memberikan informasi-informasi aktual agar tidak muncul penumpang gelap dari proses pembangunan IKN, kita harus kritis gitu. Terakhir kesimpulan dari hasil riset kami di grand design IKN; IKN adalah eksploitasi secara berkelanjutan di Kalimantan Timur”, tutup Wiwik mengakhiri.

Laporan : Ence/Reynaldy

Tags: